Fenomena overqualified atau kelebihan kualifikasi bukan hanya terjadi di negara berkembang. Di Tiongkok, tren ini semakin terlihat jelas, terutama setelah pandemi dan ketatnya persaingan kerja. Bayangkan, lulusan S2 bahkan PhD bersedia melamar pekerjaan level entry, seperti customer service atau pekerjaan administrasi biasa. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Tiongkok mengalami lonjakan jumlah lulusan universitas setiap tahunnya. Pada 2025, diperkirakan lebih dari 11 juta mahasiswa akan lulus — menciptakan tekanan luar biasa pada pasar kerja. Namun, tidak semua sektor tumbuh dengan kecepatan yang sama untuk menyerap lulusan ini, terutama di bidang-bidang tradisional.
Karena itu, banyak fresh graduate berpendidikan tinggi harus menurunkan ekspektasi mereka demi mendapatkan pekerjaan. Mereka bersaing di posisi yang biasanya ditujukan untuk lulusan SMA atau D3. Ini menciptakan situasi di mana perusahaan pun bingung: menerima kandidat overqualified yang berisiko cepat keluar, atau memilih kandidat dengan kualifikasi pas-pasan tapi stabil.
Bagi generasi muda di Tiongkok, realitas ini juga menciptakan tantangan mental. Rasa kecewa, beban keluarga, dan tekanan sosial membuat banyak dari mereka mengalami krisis identitas. Di media sosial Tiongkok, istilah seperti “involution” (persaingan tanpa akhir) dan “lying flat” (menyerah dari tekanan sosial) menjadi tren, mencerminkan kelelahan kolektif generasi muda mereka.
Fenomena ini menjadi peringatan global: bahwa pendidikan tinggi tidak lagi menjamin karier yang mulus. Dunia kerja berubah, dan adaptasi menjadi kunci. Mungkin solusinya bukan menambah gelar, tapi membangun keterampilan praktis, jejaring, dan keberanian untuk memulai hal baru — bahkan dari nol.
Comments